III. PATOLOGI
Kekosongan eksistensial dan frustasi eksistensial
Keluhan pasien yang umum saat ini adalah bahwa hidup mereka tidak berarti. Frakl menyebut kekosongan eksistensial adalah keadaan dimana orang-orang mengalami kekosongan batin. Tidak ada pegangan untuk membimbing tingkah laku mereka baik secara instik maupun tradisi dalam melakukukan suatu pilihan, akibatnya manusia tidak tau apa yang mereka lakukan atau yang akan dilakukan. ” Kekosongan eksistensial tampak terutama dalam keadaan kebosanan.... dalam kenyataannya kebosanan merupakan masalah yang melebihi penderitaan yang harus dipecahkan yang menyebabkan dan membawa mereka pada psikiatris” (Frankl 1985a h 129)
Frustasi kehendak untuk memaknai merupakan frustsai eksistensial.
”Frustasi ini kadang-kadang kopensasinya nampak dalam kehendak untuk berkuasa, kehendak untuk kenikmatan. Itulah mengapa frustasi eksistensial muncul dalam pemuasan kompensasi seksual. Kita dapat menikmati dalam kondisi demikian libido seksual semakin menjadi dalam kekosongan eksistensial”
Frustasi eksistensial bukan patologi atau patogenic
Tidak semua konflik menupakan neurotik. Penderitaan tidak selalu gejala patologis. Frankl menyangkal dengan tegas bahwa pencarian seseorang akan makna bagi eksistensinya atau bahkan keraguannya, berasal dari dari penyakit....perhatian orang pada nilai kehidupan merupakan kesulitan eksistensial tetapi bukan penyakit mental.
Pencarian makna dapat membawa pada ketegangan. Tapi ketegangan tersebut bukan patologis, ketegangan antara apa yang telah dicapai dan yang harus dipenuhi, ketegangan antara siapakah dia dan harus menjadi apakah dia, ketegangan tersebut tidak harus dihilangkan.
Sifat neurosis dan psikosis
Meskipun konflik eksistensial bukanlah neurosis tapi setiap neurosis memiliki aspek eksistensial. Neurosis ”terletak dalam 4 lapisan dasar yang berbeda dari keberadaan manusia”. (Frankl 1986h 176-177) yaitu fisik, psikologis, sosial dan eksistensial atau spiritual.
Berbicara mengenai neurosis berbeda-beda berkaitan dengan kepentingan 4 dimensi tadi. Fisiologis tidak tidak dapat diobati dengan psikoterapi atau hanya dengan obat apalagi bila sangat besar maka psikoerapi tidak dapat berbuat apa-apa.
Neurosis Noogenic
Noetik menunjuk pada dimensi spiritual. “ Neurosis ini tidak terjadi karena dorongan dan instink melainkan karena masalah eksistensial. Diantara masalah ini frustasi kehendak untuk memaknai memerankan peranan yang besar” (Frankl 1985 a) Gangguan bukan dalam dimensi spiritual tetapi mewujud dalam psiko fisikum. “ Neurosis noogenik adalah penyakit “out of spitit” berasal dari spiritualitas tetapi ia bukan penyakit “dalam spiritual”
Neurosis Kolektif
Meskipun pada abad kita disebut sebagai abad kecemasan, ini meragukan bahwa kecemasan lebih lazim dibandingkan waktu yang lainnya. Akan tetapi banyak karakteristik dari orang-orang modern yang mendekati neurosis dan dapat tunjuk sebagai neurosis kolektif.
- Tidak terencana. Tidak ada rencana untuk menyikapi kehidupan hari kehari, jangka panjang.
- Sikap fatalis terhadap kehidupan.
- Pemikiran kolektif. Manusia inividu tenggelam /meleburkan diri dalam masa. Padahal ia memiliki kebebasan, tanggungjawab.
- Fanatik, kolektivisme mengabaikan kepribadiannya kalau fanatisme mengabaikan kepribadian orang lain. Hanya pendapatnya sendiri yang sah.
Akhirnya keempat gejala tadi dapat dilacak kebelakang pada ketakutan manusia untuk bertanggungjawab dan lari dari kebebasannya. Pendidikan dan mental higiene lebih dibutuhkan untuk merawat neurosis kolektif daripada psikoterapi.
Neuroses
Noogenic Neurogenetic dan neurosis kolektif termasuk neurosis dalam arti yang lebih luas. Dalam arti sempit neurosis dimengerti sebagai dimensi psikis manusia. “ Neurosis bukan noetic, bukan penyakit spiritual, bukan penyakit manusia melulu dalam spiritualitasnya. Lebih dari itu neurosis selalu merupakan sakit manusia dalam kesatuan dan keseluruhannya” (Frankl 1956 h 125). Kompleksitas psikologis, konflik dan pengalaman traumatik bagaimanapun juga merupakan perwujudan neurosis daripada sebagai penyebab, yang lebih berhubungan dekat dengan catat perkembangan dalan struktur kepribadian seseorang. Kecemasan merupakan faktor yang umum, meskipun ini bukan penyebab neurosis; bagaimanapun juga kecemasan mengandung lingkaran neurotik. Kecemasan yang mendahului adalah unsur dasar. Suatu symtom ysng cepat berlalu atau kegagalan sementara daalam fungsi menjadi fokus perhatian. Suatu ketakutan kambuhnya gejala bangkit, yang menguatkan gejala itu, mulailah lingkaran neuritik yang mencakup kecemasan pendahuluan. Ada dua tipe kecemasan besar yaitu neurosis kecemasan dan neurosis obsesional.
Kecemasan Neursis melibatkan kesalahan fungsi dari sistem vasomotor, gangguan dari fungsi indokrin, atau unsur yang konstitusional. Pengalaman traumatik merupakan agen yang mengendapkan dengan memfokuskan perhatian pada gejal-gejala, tapi di belakang kecemasan neurotik hádala kecemasan eksistensial. Kecemasan eksistensial ini hádala “Ketakutan akan kematian dan sekaligus ketakutan akan hidup sebagai keseluruhan” (Frankl 1986. h180) Kecemasan eksistensial tadi akibat dari suara hati yang salah terhadap kehidupan yaitu tidak mewujudkan nilai-nilai dalm hidupnya. Ketakutan ini menjadi berfokus pada organ tubuh yang khusus atau menjadi terkonsentrasi pada situasi kongret simbolik dalam bentuk pobia. Pasien yang tenderita ketakutan terhadap tempat yang terbuka mendeskribsikan ketakkutannya ”Merasa seperti menggantung diudara” yang secara tepat menggambarkan situasi spiritual kesuluruhannya, dimana neurosis diekspresikan.( Frankl 1986, h 180). Neurosis, secara eksistensial merupakan cara menunjukkan keberadaan.
Neurosis obsesional , seperti semua neurosis lainnya, terkandung didalamnya factor disposisional, factor konstitusional, juga factor genetik. Bagaimanapun juga ada factor eksistensial juga, yang nampak dalam pilihan dan keputusan individu untuk melanjautkan neurosis obsesional yang berkembang penuh. “ Pasien tidak bertanggungjawab terhadap ide-ide obsesionalnya” tapi “ ia dengan pasti bertanggungjawab terhadap sikapnya tersebut” (Frankl 1986, h 188). Neurotic obsesional tidak dapat menoleransi terhadap ketidakpastian, ketegangan antara apa yang ada dan yang seharusnya. Pandangan dunianya ádalah seratus persen, atau mencari kemutlakan, suatu usaha untuk ”kepastian mutlak dalam pengertian dan keputusan” (Frankl 1986 h 191).
Psikosis
Dalam neorosis, baik gejala dan etiologinya merupakan psikologi. Dalam psikosis melankolia dan sizoprenia etiologinya merupakan fisik dan gejalanya merupakan psikologis.
Melankolia atau psikosis endogen juga melibatkan psikogenetik dan faktor eksistensial atau faktor “pathoplastic”, yang menunjuk pada kebebasan untuk membentuk nasib seseorang dan menentukan sikap mental seseorang terhadap penyakit. Dengan kebebasan sikap mental menuju tanggung jawab. Kecemasan yang tampak dalam melankolia memiliki dasar psikologis, tetapi hal itu tidak menjelaskan tentang kecemasan atau kesalahan, yang disebabkan terutama oleh ketakutan akan kematian dan suara hati serta menghadirkan cara eksistensi atau cara mengalami. “Kecemasan yang serius hanya dapat dipahami …. sebagai kecemasan seorang manusia: sebagai kecemasan eksistensial” (Frankl 1986 h 201), bukan dalam arti psikologis. Meskipun seekor binatang dapat mengalami kecemasan, psikosis manusia melibatkan unsur pokok manusia yaitu eksistensinya, yang mengatasi dan di luar kondisi organik.
Dalam melankolia, dasar fisiologis atau “kekurangan psikofisik dialami manusia dalam bentuk yang unik yaitu sebagai tegangan antara siapa dirinya sekarang dan akan menjadi apa” antara “kebutuhan dan kemungkinan pemenuhannya” (Frankl 1986 h 202). Kekurangan ini dirasakan sebagai ketidakmampuan dan muncul dalam berbagai bentuk, mengakibatkan ketakutan yang muncul dalam: takut tidak mampu memperoleh uang yang cukup, takut tidak mampu mencapai tujuan hidupnya, takut pada “Hari Penghakiman”. Orang melankolik “menjadi buta terhadap nilai-nilai yang melekat dalam dirinya” dan kemudian pada nilai-nilai di luar dirinya; pertama “ia merasa dirinya tidak berharga dan hidupnya tidak berarti” (Frankl 1986 h 204) dan kemudian dunia ini dipandang dengan cara yang sama. Kesalahan yang muncul dari rasa ketidakcukupan individual dan “berasal dari tegangan eksistensial yang intensif dapat mengembang sedemikian rupa sehingga ia merasa kesalahannya tidak dapat dimusnahkan” (Frankl 1986 h 205). Maka, kehidupan dipandang sebagai dimensi kolosal.
Dalam sizoprenia, gejala perasaan merupakan bentuk dari ”pengalaman objek yang murni...... orang zizoprenia mengalami dirinya sebagai objek dari pengamatan dan pelaksanaan tujuan dari orang lain” (Frankl 1986 h 208-2009). Orang zizoprenia mengalami dirinya bukan sebagai subjek, tetapi sebagai objek, ia tidak dapat lagi merasakan dirinya sebagai pribadi yang ada secara nyata. (Frankl 1986 h 210). Baik suara hati maupun tanggung jawab dipengaruhi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar